Saparuddin Sanusi


Voluntary simplicy… kesederhanaan sukarela! Saya penasaran dan ketika googling saya mendapati istilah ini diperdebatkan di antara penulis  topic terkait. Ada yang menerjemahkannya sebagai belajar hidup miskin (learning to live poor),yang disanggah penulis lainnya, bahwa untuk hidup sederhana tak harus memiskinkan diri. Ada pula yang mengartikan sebagai berhenti memenuhi keinginan dan membatasi hanya pada kebutuhan (stop spending on wants and limit spending only to needs).

Ada pula yang tidak setuju dengan kedua-duanya, tak harus miskin dan menyadera keinginan, tetapi memilih hidup dengan mengoptimalkan apa yang dimiliki dan memilih gaya hidup yang sesuai dengan diri kita, bukan denga styleorang lain karena one doesn’t fit for all.
Dalam kehidupan kita seringkali dihadapkan pada dilemma antara kebutuhan dan keinginan. Ketika orang tua yang memiliki anak merengek untuk membeli sesuatu, kita cenderung mengabulkan permintaannya sebagai ekspresi saying tanpa mempertimbangkan apakah barang tersebut dibutuhkannya atau sekedar diinginkannya. Padahal rengekan bisa jadi sebuah bentuk kemanjaan anak terhadap orang tuanya. Tapi, kita merasa bersalahjika tak memenuhi kebutuhannya, sehimgga anak belajar bahwa semua keinginannya harus terpenuhi.
Seorang isrti pegawai negeri mati – matian menghamba kepada istri bos suaminya, demi mendapatkan jabatan bagi suaminya. Dia bukan pengangguran, suaminya pun tak sedang non-job. Suami-isteri ini begituterobsesi dengan jabatan tinggi, sehingga apapun dilakukan demi meraih keinginan termasuk mengorbankan harga dirinya. Ketika seseorang yang lain menanyakan alasannya, ia berujar : “tapi kan lain kalau punya mobil dinas, rasanya gimana gitu!” sungguh memiriskan, kebutuhan tersubordinasi oleh keinginannya!
Kita juga cenderung menjadi “manusia penumpuk” karena barang ditambah terus, tapi selalu merasa tak cukup. Ketika ada tawaran diskon di mal-mal, kita begitu sulit untuk tak meliriknya, tergoda oleh diskon yang ditawarkan, kemudian membelinya. Padahal barang – barang tersebut tak kita butuhkan. Suatu hari seorang kawan mengeluh karena ia pusing memilih baju apa yang akania pakai untuk suatu acara. Saya tertegun dengan kebingungannya karena saya tahu, ia bukan orang yang tak punya atau kekurangan baju, ia punya lebih dari satu lemari denga berbagai jenis dan model yang ip to date. Keinginannya (untuk selalu berbelanja) terkalahkan oleh kebutuhannya.
Di antara kawan dekat kita selalu saling memperingatkan setiap kali ada yang mau shopping untuk “keinginan” ketimbang “kebutuhan” dengan teguran : “Ingat kayu bakar!” kita membuat asumsi sendiri sendiri bahwa berbelanja konsumtif nantinya akan menjadi kayu bakar kita dikemudian hari. Jadilah, setiap ada godaan belanja, teman-teman selalu menimbang-nimbang, apakah barang tersebut dibutuhkan atau diinginkan. Kompetisinya justru pada siapa yang dapat bertahan untuk tidak belanja atau belanja paling sedikit ketimbang sebaliknya. Hasilnya, cukup manjur karena godaan belanja lebih sering “dikalahkan” oleh nafsu “keinginan”.
Dalam kehidupan, voluntary simplicity tak sekedar bijak menggunbakan uang, sehingga sehebat apapun godaan iklan, kita takkan terpengaruh jika memang apa yang diiklankan tak kita butuhkan dan tak menjadi korban kapitalisme. Voluntary simplicity merupakan pilihan gaya hidup yang cocok dengan diri kita berdasarkan pilihan sendiri. Kita menjadi pengontrol bagi diri kita sebagai salah satu alternative menghindar dari keserakahan agar kita tidak mudah menjadi bagian dari, misalnya, manusia 28 miliar, 66 miliar dan 95 miliar karena keinginan terkalahkan oleh kebutuhan. Don’t you think so?
Komentar
0 Komentar

0 komentar:

Posting Komentar

 
PW IPM SULSEL © 2014. All Rights Reserved.
Top