Menguasai bahasa selain bahasa ibu bukan saja membantu dalam pergaulan sosial, ternyata ada manfaat sehatnya. Menurut studi yang diterbitkan dalam jurnal Neurology, orang yang menguasai dua bahasa atau berbagai macam bahasa (polyglot) terkena demensia 4,5 tahun lebih lambat ketimbang mereka yang hanya bisa bicara satu bahasa.
Demensia (bahasa Inggris: dementia, senility) merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan penurunan fungsional yang disebabkan oleh kelainan yang terjadi pada otak. Misalnya pikun merupakan gejala umum demensia, walaupun pikun itu sendiri belum berarti indikasi terjadinya demensia.
Demensia (bahasa Inggris: dementia, senility) merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan penurunan fungsional yang disebabkan oleh kelainan yang terjadi pada otak. Misalnya pikun merupakan gejala umum demensia, walaupun pikun itu sendiri belum berarti indikasi terjadinya demensia.
Foto:speakingadventure.com |
Orang-orang yang menderita demensia sering tidak dapat berpikir dengan baik dan berakibat tidak dapat beraktivitas dengan baik. Oleh sebab itu mereka lambat laun kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan dan perlahan menjadi emosional.
Demensia mengacu pada beberapa gejala seperti hilangnya memori dan perhatian, kesulitan komunikasi, dan penurunan persepsi visual yang dihasilkan oleh kerusakan sel-sel otak. Alzheimer senagai jenis yang paling umum dari demensia merupakan penyebab utama kematian kelima orang Amerika yang berusia lebih dari 65 tahun. Penyakit ini juga diperkirakan mempengaruhi 5,2 juta orang.
Nah, menurut Dr Thomas Bak dari Scotland's University of Edinburgh yang mengadakan penelitian ini, orang yang memiliki kemampuan bahasa lebih dari satu, selalu berlatih semacam senam otak untuk menggunakan kata yang benar saat menggunakan suatu bahasa dan 'menekan' bahasa lainnya. Hal ini merangsang berbagai bagian otak untuk aktif sepanjang hidupnya.
Penelitian yang dipimpin Dr Thomas Bak melibatkan 648 pasien demensia di Hyderabad, India, di mana tempat tersebut menjadi titik percampuran budaya sehingga membuat warganya berbicara dua atau lebih bahasa, terlepas dari tingkat pendidikannya.
Demensia mengacu pada beberapa gejala seperti hilangnya memori dan perhatian, kesulitan komunikasi, dan penurunan persepsi visual yang dihasilkan oleh kerusakan sel-sel otak. Alzheimer senagai jenis yang paling umum dari demensia merupakan penyebab utama kematian kelima orang Amerika yang berusia lebih dari 65 tahun. Penyakit ini juga diperkirakan mempengaruhi 5,2 juta orang.
Nah, menurut Dr Thomas Bak dari Scotland's University of Edinburgh yang mengadakan penelitian ini, orang yang memiliki kemampuan bahasa lebih dari satu, selalu berlatih semacam senam otak untuk menggunakan kata yang benar saat menggunakan suatu bahasa dan 'menekan' bahasa lainnya. Hal ini merangsang berbagai bagian otak untuk aktif sepanjang hidupnya.
Penelitian yang dipimpin Dr Thomas Bak melibatkan 648 pasien demensia di Hyderabad, India, di mana tempat tersebut menjadi titik percampuran budaya sehingga membuat warganya berbicara dua atau lebih bahasa, terlepas dari tingkat pendidikannya.
Foto: iwasanexpatwife.files. |
Mereka yang terlibat dalam studi adalah yang sudah lama tinggal di Hyderabad dan telah terpapar bahasa lokal seperti Hindi, Telugu dan Dakkhini. Rata-rata usia peserta penelitian adalah 62,2 tahun. Lebih dari setengah peserta studi adalah orang-orang yang berbicara dua atau lebih bahasa.
Peneliti juga mewawancarai anggota keluarga dan pengasuh untuk menentukan kapan gejala pertama demensia mulai muncul. Untuk penutur bilingual, rata-rata mereka terkena demensia di usia 65,6 tahun. Sementara itu orang yang hanya menguasai satu bahasa terkena demensia di usia 61,1 tahun.
Menurutnya, orang yang bisa bicara lebih dari dua bahasa tidak lantas lebih terlindungi dari demensia. Untuk mendapat manfaat sehat dari kemampuan bilingual juga tidak perlu bicara bahasa kedua secara fasih. Bisa mengekspresikan diri melalui bahasa yang dikuasainya saja sudah cukup.
Bak menyebut kemampuan berbahasa tidak harus selalu didapat dari sekolah, sebab di India, seseorang bisa belajar bahasa lain di jalanan. Karena itu, tidak benar jika manfaat sehat kemampuan berbicara dua bahasa hanya bisa didapat oleh mereka yang memiliki pendidikan tinggi. Orang-orang yang mempelajari bahasa kedua saat dewasa juga diyakini masih bisa mendapat manfaat sehat bagi otaknya.
Jadi tak ada kata terlambat belajar bahasa baru, ya.
Peneliti juga mewawancarai anggota keluarga dan pengasuh untuk menentukan kapan gejala pertama demensia mulai muncul. Untuk penutur bilingual, rata-rata mereka terkena demensia di usia 65,6 tahun. Sementara itu orang yang hanya menguasai satu bahasa terkena demensia di usia 61,1 tahun.
Menurutnya, orang yang bisa bicara lebih dari dua bahasa tidak lantas lebih terlindungi dari demensia. Untuk mendapat manfaat sehat dari kemampuan bilingual juga tidak perlu bicara bahasa kedua secara fasih. Bisa mengekspresikan diri melalui bahasa yang dikuasainya saja sudah cukup.
Bak menyebut kemampuan berbahasa tidak harus selalu didapat dari sekolah, sebab di India, seseorang bisa belajar bahasa lain di jalanan. Karena itu, tidak benar jika manfaat sehat kemampuan berbicara dua bahasa hanya bisa didapat oleh mereka yang memiliki pendidikan tinggi. Orang-orang yang mempelajari bahasa kedua saat dewasa juga diyakini masih bisa mendapat manfaat sehat bagi otaknya.
Jadi tak ada kata terlambat belajar bahasa baru, ya.